
Kali ini seorang pria berkumis tebal akan pergi ke sekolah. Dia adalah lelaki yang sangat suka bereksperimen dengan hal-hal yang bisa dibilang anti-mainstream. Usianya sudah berkepala empat, tapi jangan salah, gayanya seperti anak remaja yang sok-sokan. Rambut gaya anak SMA, celana ketat di ujung (pinsil), kemeja dikeluarkan, dan badan kurus kering seperti ranting rambutan. Sayangnya, ia tak merok*k. Mendiang ayahnya sampai muak memaksanya untuk meroko*k.
“Merok*klah, Nak. Tak apa. Umurmu akan panjang seperti kakekmu nantinya…” Pria berkumis tebal tersenyum.
Saat itu ia masih duduk di bangku kuliah semester dua. Asal kalian tahu, kumisnya sudah tebal saat itu.
“Tak usah percaya pada penelitian itu. Merok*k dapat menyebabkan impotensi, blabla cuih! Buktinya kakekmu dulu hanya mengalami kanker mulut!” Pria berkumis tebal malah menggaruk-garuk pantatnya jika sedang diceramahin oleh Ayahnya. Ia suka menggaruk pantat karena ada kenikmatan tersendiri, katanya.
Saat itu ia masih duduk di bangku kuliah semester dua. Asal kalian tahu, kumisnya sudah tebal saat itu.
“Tak usah percaya pada penelitian itu. Merok*k dapat menyebabkan impotensi, blabla cuih! Buktinya kakekmu dulu hanya mengalami kanker mulut!” Pria berkumis tebal malah menggaruk-garuk pantatnya jika sedang diceramahin oleh Ayahnya. Ia suka menggaruk pantat karena ada kenikmatan tersendiri, katanya.
Namun itu semua tinggal kenangan. Ayahnya telah dipanggil yang maha kuasa tiga tahun lalu. Semua itu karena rok*k. Tidak, bukan kanker. Melainkan ia dibacok temannya karena tak mau memberikan sebatang rok*knya. Lagi-lagi kecanduan bisa lebih berbahaya daripada kanker. Pria berkumis tebal tidak sedih sedikit pun. Ia malah memberikan sebungkus rok*k kesukaan ayahnya pada teman ayahnya itu. Apa yang terjadi? Esok harinya si teman ayahnya itu ditemukan tewas dengan wajah dan kepala berantakan. Ada sebuah bom kecil di dalam setiap batang rok*k tersebut yang dirancang sedemikian rupa oleh pria berkumis tebal sehingga akan meledak semuanya ketika dihisap. Oleh sebab itu, jangan anggap remeh seorang sarjana pendidikan. Benar, tak ada hubungannya sama sekali.
“Maaf, Pak. Ada perlu apa?” Tanya satpam sekolah tersebut. Pria berkumis tebal tak menjawab. Kelihatannya ia tengah berpikir bagaimana cara masuk melewati gerbang ini tanpa berbicara. Si satpam bingung. Dipandanginya pria berkumis tebal dari atas ke bawah. Sudah pasti, orang gila, pikirnya. “Silahkan pergi jika Bapak tak ada keperluan…” Pria berkumis tebal tetap diam. Lalu ia merogoh sakunya dan mengambil tiga batang rok*k. Sial, rok*knya patah semua. Ia memukul kepalanya sendiri. Rencana A telah gagal.
“Dasar orang stres… rok*k kok disimpan di kantung celana…” Gumam satpam tersebut. Ia pura-pura membaca koran di posnya dengan sekali-kali mengintip pria berkumis tebal. Tiba-tiba datanglah seorang tukang galon air minum dengan becak odong-odongnya. Satpam langsung membuka gerbangnya. Seketika ke luar lampu pijar dari kepala pria berkumis tebal. Ia langsung naik ke becak tersebut.
“Hei, Pak! Turun!” Teriak satpam tersebut.
“Bapak nyuruh saya turun?” Balas tukang galon.
“Bukan kamu, tapi Bapak yang naik di becak kamu!” Tukang galon langsung menoleh ke pria berkumis tebal. Anehnya, ia tak terkejut.
“Oh, Bapak ini teman angkat galon saya, Pak! Ya sudah ya, Pak. Entar saya dimarahi kepsek kalau telat!” Satpam nyengir kebingungan. Seolah-olah semua itu telah di-skenario-kan. Daripada stres memikirkan mereka, Satpam pun merogoh saku celananya untuk mengambil rok*k. Sial, tiga batang patah semua.
“Kalau saya ke Jakarta, pasti saya sudah menjadi aktor, Pak!” Tukas tukang galon tersebut. Mereka berdua mengangkat galon tersebut ke dalam kantor guru.
“Bapak nyuruh saya turun?” Balas tukang galon.
“Bukan kamu, tapi Bapak yang naik di becak kamu!” Tukang galon langsung menoleh ke pria berkumis tebal. Anehnya, ia tak terkejut.
“Oh, Bapak ini teman angkat galon saya, Pak! Ya sudah ya, Pak. Entar saya dimarahi kepsek kalau telat!” Satpam nyengir kebingungan. Seolah-olah semua itu telah di-skenario-kan. Daripada stres memikirkan mereka, Satpam pun merogoh saku celananya untuk mengambil rok*k. Sial, tiga batang patah semua.
“Kalau saya ke Jakarta, pasti saya sudah menjadi aktor, Pak!” Tukas tukang galon tersebut. Mereka berdua mengangkat galon tersebut ke dalam kantor guru.
“Bapak tak perlu berterima kasih. Sudah tugas saya berakting dadakan. Dulu, saya pernah berakting dadakan seperti ini. Entah perempuan dari mana, tiba-tiba menarik lengan saya ketika saya lagi mengangkat galon. Galonnya pun pecah. Di situ saya disuruh berakting menjadi pacarnya. Perempuan ini cantik banget loh, Pak. Tapi aneh, perutnya agak buncit. Eh, rupanya dia hamil. Ya sudah, sampai sekarang, saya tetap berakting dengan berpura-pura menjadi ayah dari bayi itu. Makanya, saya harus bekerja dengan giat…” Pria berkumis tebal sepertinya tak peduli dengan cerita membosankan si tukang galon. Orang bodoh, kok mau disuruh begitu tanpa dapat apa-apa, pikirnya.
Mereka pun mengangkat galon menuju kantor kepsek. Pria berkumis tebal terlihat sangat letih. Tampak butiran keringat menempel pada helaian kumisnya. Seperti kata tetua terdahulu, segala yang dipaksakan tak pernah berujung baik. Alhasil, satu galon jatuh dan pecah. Genangan air membanjiri kantor kepsek. Tukang galon ketakutan dan lari terbirit-birit meninggalkan pria berkumis tebal. Dasar pengecut, ketusnya dalam hati. Ia pun bergegas mencari kain pel. Celingak-celinguk, itulah gayanya. Maklum saja, ini kali pertama ia berada di sekolah ini. Masih belum jelas, apa tujuan ia datang ke sekolah ini. Semoga pembaca tak kunjung bosan.
“Kamu yang membanjiri kantor saya?”
Pria berkumis tebal merasa tersetrum. Seperti ada tegangan sekian Volt yang menepuk telinganya. Ia menoleh dengan wajah yang memucat muram. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Ia adalah seorang wanita berseragam PNS. Karina Kamuni, Kepala Sekolah, itulah tulisan yang ada di seragamnya. Karina… Kamuni!?
“Jangan bilang kamu adalah…” Sepertinya lebay sekali jika titik-titiknya terlalu banyak. Tapi bagaimana pun, wanita yang tak ber-alis itu adalah sang permata hati pria berkumis tebal.
Bagaimana bisa sih? Jadi si Kepsek Kamuni ini yang menjadi tujuan pria berkumis tebal datang kemari?
“Jangan bilang kamu adalah…” Sepertinya lebay sekali jika titik-titiknya terlalu banyak. Tapi bagaimana pun, wanita yang tak ber-alis itu adalah sang permata hati pria berkumis tebal.
Bagaimana bisa sih? Jadi si Kepsek Kamuni ini yang menjadi tujuan pria berkumis tebal datang kemari?
“…tak mungkin kamu adalah Sakri?!” Pria berkumis tebal menyengir. Walau ada sobekan cabe menempel di gigi serinya, itu tak membuat pria berkumis tebal gentar memberi seuntai senyuman pada Kepsek. “Jadi kamu benar Sakrino?” Pria berkumis tebal semakin girang. Si Kepsek segera berlari menuju pria berkumis tebal, begitupun pria berkumis tebal. Tahu film Bollywood? Seperti itulah mereka. Dengan diberi sedikit efek slow motion dan partikel-partikel bunga, adegan mereka terlihat sempurna.
Plak!!
Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kanan pria berkumis tebal. Gigi taringnya langsung meloncat ke luar dibarengi seciprat darah. Sial, aku tak akan bisa lagi menjadi Werewolf, batinnya. “Sudah 28 tahun lamanya aku menanti dirimu, dan kau tak membawa apa-apa padaku? Malah kau membuat kantorku kebanjiran. Dasar bedebah!” Pria berkumis tebal tertegun. Ia masih membisu sejauh ini. Dapat dipastikan pita suaranya telah berdebu dan dipenuhi jaring laba-laba. Tinggal menunggu waktu ia menjadi The Hairy Spiderman.
“Terakhir kali kita bertemu, kumismu masih berantakan. Bau ketek juga. Belekmu selalu menghiasi mata indahmu, dan…” Kepsek menghela napas sejenak.
“…kau tetap sama cungkringnya seperti 28 tahun lalu. Senyumanmu juga masih menjijikkan seperti tahi ayam kampung. Hey, kenapa kau diam saja? Apakah pita suaramu disiram timah panas oleh aparat rahasia pemerintah karena cerpen-cerpenmu yang selalu menyindir mereka? Ku mohon, berkatalah!” Ada kerlingan air mata menumpuk di matanya. Sungguh tampak, Kepsek masih mencintai kekasihnya ini walau telah dipisahkan oleh keadaan selama 28 tahun lamanya.
“…kau tetap sama cungkringnya seperti 28 tahun lalu. Senyumanmu juga masih menjijikkan seperti tahi ayam kampung. Hey, kenapa kau diam saja? Apakah pita suaramu disiram timah panas oleh aparat rahasia pemerintah karena cerpen-cerpenmu yang selalu menyindir mereka? Ku mohon, berkatalah!” Ada kerlingan air mata menumpuk di matanya. Sungguh tampak, Kepsek masih mencintai kekasihnya ini walau telah dipisahkan oleh keadaan selama 28 tahun lamanya.
“Aku mencintaimu, Karina…” Parau betul suara itu. Tatapan pria berkumis tebal sungguh membelai hati kepsek.
“Akhirnya, sudah 28 tahun aku tak bicara. Kering betul pita suaraku, Kar. Kau ingat, terakhir kali aku bicara padamu?”
“Kau mengatakan kalimat yang pertama kau ucap tadi…”
“Seperti apa kau menutupnya, seperti itulah kau membukanya…”
“Akhirnya, sudah 28 tahun aku tak bicara. Kering betul pita suaraku, Kar. Kau ingat, terakhir kali aku bicara padamu?”
“Kau mengatakan kalimat yang pertama kau ucap tadi…”
“Seperti apa kau menutupnya, seperti itulah kau membukanya…”
Kita semua tahu, sebuah komitmen dalam pernikahan adalah wajib. Tapi mereka? Apakah sudah menikah? Itulah cinta. Komitmen bukan lahir dari pernikahan ataupun hubungan, tapi lahir dari hati. Sok serius sekali penulis cerita ini. Silahkan muntah jika ingin kentut. Tuh kan, mulai ngawur. Sepertinya ada yang mau dikatakan oleh kepsek.
“Kri, walaupun aku sudah 45 tahun, aku masih gadis loh, asal kau tahu ya…”
“… dan asal kau tahu juga, sudah 45 tahun, aku masih tidak mau untuk menghisap rok*k!” Pria berkumis tebal juga mau pamer. “Tapi dari napasmu sepertinya kau menghisap jengkol…”
Mereka pun tertawa bersama menjemput senja di ujung koridor.
“Kri, walaupun aku sudah 45 tahun, aku masih gadis loh, asal kau tahu ya…”
“… dan asal kau tahu juga, sudah 45 tahun, aku masih tidak mau untuk menghisap rok*k!” Pria berkumis tebal juga mau pamer. “Tapi dari napasmu sepertinya kau menghisap jengkol…”
Mereka pun tertawa bersama menjemput senja di ujung koridor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar